A.
Penatalaksanaan fraktur
A.1 terapi pada fraktur tertutup
Pada dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi fraktur
untuk memperbaiki posisi fragmen, diikuti dengan pembebatan untuk mempertahankannya bersama-sama sebelum
fragmen-fragmen itu menyatu; sementara itu gerakan sendi dan fungsi harus di
pertahankan. Pada penyembuhan fraktur dianjurkan untuk melakukan aktivitas otot
dan penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini mencakup dalam 3 keputusan
yang sederhana; reduksi, mempertahankan, lakukan latihan.
Pada penanganan sulit menahan fraktur secara memadai sambil
tetap menggunakan tungkai secukupnya: ini merupakan suatu pertentangan (tahan
lawan gerakan) yang perlu dicari pemecahannya secepat mungkin oleh ahli bedah
(misalnya dengan fiksasi internal). Terapi bukan saja d tentukan oleh jenis
fraktur tetapi juga oleh keadaan jaringan lunak di sekitarnya. Tscherne (1984)
telah menyediakan klasifikasi cedera tertutup yang bermanfaat: tingkat 0 adalah
fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan lunak; tingkat 1 adalah
fraktur dengan abrasi dangkal atau memar pada kulit dan jaringan subkutan;
tingkat 3 adalah cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartemen.
A.1.1 Reduksi
Meskipun
terapi umum dan resusitasi harus selalu di dahuluka, tidak boleh ada
keterlambatan dalam menangani fraktur; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam
pertama akan mempersukar reduksi. Tetapi terapat beberapa situasi yang tak
memerlukan reduksi;
(1)
bila pergeseran tidak banyak atau tidak ada;
(2)
bila pergeseran tidak berarti (misalnya pada fraktur clavicula); dan
(3)
bila reduksi tampak tak akan berhasil (misalnya pada fraktur kompresi pada
vertebra).
Fraktur
yang melibatkan permukaan sendi; ini harus di reduksi sempurna mungkin karna
setiap ketidakberesan akan memudahkan timbulnya arthritis degenerative.
Terdapat dua metode reduksi; tertutup dan terbuka.
Ø Reduksi tertutup
Dengan
anastesi yang tepat dan relaksasi otot, fraktur dapat direduksi dengan manuver
tiga tahap:
(1) bagian
distal tungkai di tarik ke garis tulang;
(2)
sementara fragmen-fragmen terlepas, fragmen itu di reposisi (dengan membalikkan
arah
kekuatan asal kalau ini dapat di
perkirakan); dan
(3)
penjajaran di sesuaikan ke setiap bidang. Beberapa fraktur (misalnya pada
batang femur) sulit
di reduksi dengan manipulasi karena
tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan traksi
yang lama.
Ø Reduksi terbuka
Reduksi
bedah pada fraktur dengan penglihatan
langsung di indikasikan:
(1) Bila reduksi tertutup gagal, baik
karena kesukaran mengendalikan fragmen atau karena
Terdapat
jaringan lunak di antara fragmen-fragmen itu;
(2) bila terdapat fragmen artikular besar yang
perlu di tempatkan secara tepat; atau
(3) bila terdapat fraktur traksi yang fragmennya
terpisah. Namun biasanya reduksi terbuka hanya
merupakan
langkah pertama untuk fiksasi internal.
A.1.2
Mempertahankan Reduksi
Metode yang tersedia untuk mempertahankan reduksi
adalah:
(1)
traksi terus-menerus;
(2)
pembebatan dengan gips:
(3)
pemakaian panahan fungsional,
(4)
fiksasi internal; dan
(5)
fiksasi eksternal.
Otot
di sekeliling fraktur, kalau utuh bertindak sebagai suatu kompartemen cair;
traksi atau kompresi menciptakan suatu efek hidrolik yang dapat membebat
fraktur. Karena itu metode tertutup paling cocok untuk fraktur dengan jaringan
yang lunak yang utuh, dan cenderung gagal jika metode itu digunakan sebagai
metode utama untuk terapi fraktur yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak
yang hebat.
Ø Traksi terus – menerus
traksi dilakukan pada tungkai di
bagian distal fraktur, supaya melakukan suatu tarikan yang terus menerus pada
poros panjang tulang itu. Cara ini sangat berguna untuk fraktur batang yang
bersifat oblik atau spiral yang mudah bergeser dengan kontraksi otot.
Traksi
tidak dapat menahan fraktur yang diam, traksi dapat menarik tulang panjang
secara lurus dan mempertahankan panjangnya tetapi reduksi yang tepat
kadang-kadang suka dipertahankan. Dan sementara itu pasien dapat menggerakkan
sendi-sendinya dan melatih ototnya. Traksi cukup aman, asalkan tidak berlebihan
dan berhati-hati bila menyiapkan pen-traksi. Masalahnya adalah kecepatan: bukan
karena fraktur menyatu secara perlahan-lahan (bukan demikian) tetapi karena
traksi tungkai bawah akan menahan pasien tetap di rs. Akibatnya, segera setelah
fraktur lengket (dapat mengalami deformitas tetapi tidak mengalami pergeseran),
traksi harus digantikan dengan bracing kalau metode ini dapat
dilaksanakan.
·
Traksi
dengan gaya berat; cara ini hanya berlaku pada cidera tungkai atas. Karena itu,
bila memakai kain penggendong lengan, berat lengan akan memberiakan traksi
terus menerus pada humerus.
· Traksi kulit; traksi kulit (traksi
buck) dapat menahan tarikan yang tak lebih dari 4 atau 5 kg. Ikatan holland
atau elastoplast rentang-satu-arah di tempelkan pada kulit yang telah di cukur
dan di pertahankan dengan suatu pembalut. Maleolus di lindungi dengan tisu
gamgee, dan untuk traksi di gunakan tali atau plaster
· Traksi
kerangka; kawat kirscer, pen steinmann atau pen denham di masukkan, biasanya di
belakang tuberkel tibia untuk cidera pinggul, paha dan lutut; di sebelah bawah
tibia atau pada kalkaneus untuk fraktur tibia. Kalau digunakan suatu pen, di
pasang kait yang dapat berputar dengan bebas, dan tali dipasang pada kait itu
untuk menerapkan traksi. Traksi harus selalu dilawan dengan oleh aksi lawan; artinya,
tarikan harus di lakukan terhadap sesuatu, atau tarikan itu hanya akan menarik
pasien ke bawah tempat tidurnya.
· Traksi
tetap; tarikan di lakukan terhadap suatu titik tertentu, contohnya palster di
tempelkan pada bagian persilangan bebat thomasdan menarik kaki ke bawah hingga
pangkal tungkai menyentuh cicin bebat itu.
· Traksi
berimbang; tarikan di lakukan terhadap kekuatan berlawanan yang berasal dari
berat tubuh bila kaki tempat tidur tersebut di naikkan. Tali dapat di ikata
pada kaki tempat tidur, atau di lewatkan pada kerekan-kerekan dan di beri
pemberat.
· Traksi
kombinasi; beban thomas di gunakan. Plester di tempelkan pada ujung bebat dan
bebat itu di gantung, atau di ikat pada ujung tempat tidur yang di angkat.
Ø Pembelatan dengan gips
cara ini cukup aman, selama kita
waspada akan bahaya pembalut gips yang ketat dan asalkan borok akibat tekanan
dapat dicegah. Kecepatan penyatuannya tidak lah lebih tinggi maupun lebih
rendah dibandingkan traksi, tetapi pasien dapat pulang lebih cepat.
Mempertahankan reduksi biasanya tak ada masalah dan pasien dengan fraktur tibia
dapat menahan berat pada pembalut gips. Tetapi, sendi-sendi yang terbungkus
dalam gips tidak dapat bergerak dan cenderung kaku, kekakuan yang mendapat
julukan penyakit fraktur merupakan masalah dalam penggunaan gips konvensional.
Kekakuan
dapat diminimalkan dengan :
1. Pembebatan tertunda yaitu penggunaan
traksi hingga gerakan telah diperoleh kembali, dan baru kemudian menggunakan
gips, atau
2. Memulai dengan gips konvensional,
tetapi setelah beberapa hari bila tungkai dapat dipertahankan tanpa terlalu
banyak ketidaknyamanan gips tersebut maka diganti dengan suatu penahan fungsional
yang memungkinkan gerakan sendi.
Ø Bracing fungsional
Bracing fungsional menggunakan gips
salah satu dari bahan yang ringan merupakan salah satu cara mencegah kekakuan
pada sendi sambil masih memungkinkan pembebatan fraktur. Segmen dari gips hanya
dipasang pada batang tulang itu, membiarkan sendi-sendi bebas, segmen gips itu
dihubungkan dengan engsel dari logam atau plastic yang memungkinkan gerakan
pada suatu bidang. Bebat bersifat fungsional dalam arti bahwa gerakan sendi
tidak banyak terbatas dibandingkan gips konvensional.
Bracing fungsional paling luas
digunakan untuk fraktur femur atau tibia, tetapi karena penahan ini tidak kaku,
biasanya ini hanya dipakai bila fraktur mulai menyatu, misalnya 3-6 minggu
setelah traksi atau gips konvensional. Bila digunakan dengan cara ini, ternyata
4 persyaratan dasar yang diperlukan akan terpenuhi; fraktur dapat dipertahankan cukup baik; sendi-sendi
dapat digerakkan; fraktur akan
menyatu dengan kecepatan normal (atau
mungkin sedikit lebih cepat) tanpa tetap menahan pasien di rs dan metode itu
cukup aman.
Teknik diperlukan banyak keterampilan
untuk memasang suatu penahan yang efektif. Pertama fraktur di stabilkan;
setelah beberapa hari dalam traksi atau dalam gips konvensional untuk fraktur
tibia; dan setelah beberapa minggu dalam traksi untuk fraktur femur (sampai
fraktur telah lengket, artinya dapat melentur tetapi tidak dapat terjadi
pergeseran). Kemudian pembalut gips atau bebat yang berengsel di pasang yang
akan cukup menahan fraktur tetapi memungkinkan gerakan sendi; di anjurkan
melakukan aktivitas fungsional, termasuk penahan beban.
Ø Fiksasi internal
fragmen tulang dapat
di ikat dengan sekrup, pen atau paku pengikat, plat logam yang di ikat dengan
sekrup, paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa sekrup pengunci), circumferential bands, atau kombinasi
dari metode ini. Bila di pasang dengan semestinya, fiksasi internal menahan
fraktur secara aman sehingga gerakandapat segera di mulai; dengan gerakan lebih
awal penyakit fraktur (kekakuan dan edema) dapat di hilangkan. Dalam hal
kecepatan pasien dapat meninggalkan rumah sakit segera setelah luka sembuh,
tetapi dia harus ingat bahwa meskipun tulang bergerak sebagai satu potong,
fraktur belum menyatu, hanya dipertahankan oleh jembatan logam; karna itu
penahanan beban yang tak terlidung selama beberapa waktu tidak aman. Bahaya
yang terbesar adalah sepsis; kalau terjadi infeksi semua keuntungan fiksasi
internal (reduksi yang tepat, stabilitas yang segera dan gerakan lebih awal)
dapat hilang.
Indikasi
fiksasi internal sering menjadi bentuk terapi yang paling di perlukan. Indikasi
utamanya adalah:
1. Fraktur yang tidak dapat di reduksi
kecuali dengan operasi
2. Fraktur yang tak stabil secara
bawaan dan cenderung mengalami pergeseran kembali setelah reduksi (misalnya fraktur pertengahan
batang pada lengan bawah dan fraktur pergelangan kaki yang bergeser); selain
itu, juga fraktur yang cenderung perlu di tarik terpisah oleh kerja otot
(misalnya fraktur melintang pada patella atau olecranon)
3. Fraktur yang penyatuannya kurang
baik dan perlahan-lahan, terutama fraktur pada leher femur.
4. Fraktur patologik, di mana penyakit
tulang dapat mencegah penyembuhan.
5. Fraktur multiple, bila fiksasi dini
(dengan fiksasi internal atau luar) mengurani resiko komplikasi umum dan
kegagalan organ pada berbagai sistem.
6. Fraktur pada pasien yang sulit
perawatannya (penderita paraplegia, pasien dengan cedera multiple) dan sangat
lansia).
Teknik banyak tersedia metode,
termasuk pengunaan kawat, skrup, plat, batang intramedula dan kombinasi dari
semua itu. Bila plat di gunakan, kalau mungkin plat harus di pasang pada
permukaan yang
Dapat di tegangkan, yang biasanya
pada sisi cembung tulang, bila paku intramedula di gunakan, paku itu dapat
dikuncikan dengan sekrup melintang
(muller dkk., 1991)
Frakturulang tidak boleh melepas
logam terlalu cepat, atau tulang akan patah lagi. Paling cepat satu tahun dan
18 atau 24 bulan lebih aman; beberapa minggu setelah pelepasan, tulang itu
lemah, dan di perlukan perawatan atau perlindungan.
Ø Fiksasi luar
fraktur dapat di pertahankan dengan
sekrup pengikat atau kawat penekan melalui tulang di atas dan di bawah fraktur
dan di lekatkan pada suatu kerangka luar. Cara ini dapat di terapkan terutama
pada tibia dan pelvis, tetapi metode ini juga digunakan untuk fraktur pada
femur, humerus, radius bagian bawah dan bahkan tulang-tulang pada tangan.
Indikasi
fiksasi luar sangat berguna untuk:
1. Fraktur yang di sertai dengan
kerusakan jaringan lunak yang hebat di mana luka dapat dibiarkan terbuka untuk
pemeriksaan, pembalutan atau pencangkokan kulit.
2. Fraktur yang disertai dengan
kerusakaan saraf atau pembuluh.
3. Fraktur yang sangat kominutif dan
tak stabil, sehingga sebujur tulangnya dapat dipertahankan hingga mulai terjadi
penyembuhan.
4. Fraktur yang tak menyatu, yang dapat
dieksisi dan dikompresi; kadang-kadang fraktur ini di kombinasi dengan
pemanjangan.
5. Fraktur pada pelvis, yang sering
tidak dapat di atasi dengan metode lain.
6. Fraktur yang terinfeksi, di mana
fiksasi internal mungkin tidak cocok.
7. Cidera multipel yang berat, bila
stabilisasi lebih awal mengurangi resiko komplikasi yang berbahaya (phillips
dan contreras, 1990)
Teknik
prinsip fiksasi eksternal sederhana: tulang di tranfiksikan di atas dan di
bawah fraktur dan sekrup atau kawat di transfiksikan bagian proksimal dan
distal kemudian di hubungkan satu sama lain dengan suatu batang yang kaku.
Terdapat berbagai teknik dan alat fiksasi: transfiksi dengan pen, sekrup atau kawat;
batang penghubung pada kedua sisi tulang atau pada satu sisi saja.
A.1.3
latihan
Lebih tepatnya memulihkan
fungsi-bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi juga pada pasien
secara keseluruhan. Tujuannya adalah mengurangi edema, mempertahankan gerakan
sendi, memulihkan tenaga otot dan memandu pasien kembali ke aktivitas
normal.
Pencegahan
edema pembengkakan
hampir tak dapat dielakkan setelah fraktur dan dapat menyebabkan perengangan
dan lepuh pada kulit. Edema yang menetap adalah penyebab adalah penyebab
penting kekakuan sendi, terutama pada tangan; kalau dapat, ini perlu dicegah,
dan terapi dengan giat kalau sudah terjadi, dengan kombinasi peninggian dan
latihan. Pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit, dan cidera yang tidak
begitu berat pada tungkai atas berhasil
ditangani dengan penempatan lengan pada kain gondongan; tetapi kemudian penting
untuk berusaha menggunakannya secara aktif, dengan menggerakkan semua sendi
bebas. Inti perawatan jaringan lunak dapat diringkas sbb : meninggikan dan
melakukan latihan: jangan menjutaikan, jangan memaksa.
Peninggian tungkai yang mengalami cedera berat
biasanya perlu di tinggikan; setelah reduksi pada fraktur kaki, kaki tempat
tidur ditinggikan dan latihan di mulai.
Latihan
aktif gerakan aktif membantu memompa keluar cairan
edema, merangsang sirkulasi, mencegah pelekatan jaringan lunak dan membantu
penyembuhan fraktur.
Gerakan
berbantuan telah
lama diajarkan bahwa gerakan pasif dapat merusak, terutama pada cidera sekitar
siku dimana terdapat banyak resiko munculnya miositis osifikans. Tentu saja tak
boleh lakukan gerakan paksaan, tetapi bantuan perlahan-lahan selama latihan
aktif dapat membantu mempertahankan fungsi atau memperoleh kembali gerakan
setelah terjadi fraktur yang melibatkan permukaan artikular.
Aktifitas
fungsional pasien
mungkin perlu diajarkan lagi bagaimana cara melakukan tugas sehari-hari,
misalnya berjalan, rebah, dan bangun dari tempat tidur, mandi, dll.
A.2
terapi pada fraktur terbuka
1. Pertimbangan umum
Ada
4 klasifikasi yang perlu di perhatikan; (1) bagaimana sifat luka itu; (2)
bagaimana keadan kulit di sekitar luka? Apakah sirkulasi cukup baik? Dan (3)
apakah semua saraf utuh?
Semua
fraktur terbuka seberapapun ringannya harus di anggap terkontaminasi dan perlu
untuk mencegah adanya infeksi. Untuk
tujuan ini, empat hal penting adalah: (1) pembalutan luka dengan segera; (2)
profilaksis antibiotika; (3) debridemen luka secara dini; dan (4) stabilisasi
fraktur.
2. Klasifikasi
- Tipe i luka biasanya kecil, luka tusuk yang bersih pada tempat tulang menonjol keluar. Terdapat sedikit kerusakan pada jaringan lunak, tanpa pengancuran dan fraktur tidak kominutif.
- Tipe ii luka lebih dari 1 cm tetapi tidak ada penutup kulit tidak banyak terdapat kerusakan jaringan lunak dan tidak lebih dari kehancuran atau kominusi fraktur tingkat sedang.
- Tipe iii terdapat kerusakaan yang luas pada kulit, jaringan lunak dan struktur neurovascular, disertai banyak kontaminasi luka. Pada tipe iii a, tulang yang mengalami fraktur mungkin dapat di tutupi secara memadai oleh jaringan lunak. Pada tipe iii b tidak dan malah terdapat pelepasan periosteum, selain fraktur kominutif yang berat. Fraktur di golongkan sebagai tipe iii c kalau terdapat cidera arteri yang perlu di perbaiki, tak perduli berapa banyak kerusakaan jaringan lunak yang lain. Cedera kecepatan tinggi di golongan sebagai tipe iii b atau c meskipun luka itu kecil, kerusakan internal hebat. Insidensi infeksi luka berhubungan langsung dengan tingkat kerusakan jaringan lunak; kurang dari 2% pada fraktur tipe i sampai lebih dari 10% pada fraktur tipe ii.
3. Penanganan dini
Luka harus tetap ditutup.
Antibiotika diberikan secepat mungkin, seberapapun laserasi itu harus
dilanjutkan hingga bahaya infeksi terlewati. Pada umumnya pemberian kombinasi
benzilpensilin dan flukloksasilin tiap 6 jam selama 48 jam akan mencukupi. Jika
luka sangat terkontaminasi, maka untuk mencegah gram-negatif yaitu dengan
menambahkan gentaminisin atau methonidazol dan melanjutkan terapi selama 4-5
hari. Pemberian profilaksis tetanus juga penting. Toksoid yang diberikan pada
mereka yang sebelumnya telah diimunisasi. Jika belum, berilah antiserum
manusia.
4. Debridemen
Operasi bertujuan untuk membersihkan
luka dari benda asing dan jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik
di seluruh bagian tersebut. Dilakukan irigasi akhir disertai obat antibiotika.
Jaringan kemudian di tangani sebagai berikut.
- KulitHanya sesedikit mungkin kulit di eksisi dari tepi luka. Pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka sering perlu di perluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai.setelah di perbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat di lepas.
- FasiaFasia di belah secara meluas sehigga sirkulasi tidak terhalang.
- OtotOtot yang mati berbahaya, karna merupakan makanan bakteri. Otot yang mati biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-unguannya, konsistensinya buruk, tidak dapat berkontraksi bila di rangsang, dan tak berdarah bila di potong.
- Pembuluh darahPembuluh darah yang banyak mengalami pendarahan diikat dengan cermat tetapi, untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh yang kecil di jepit dengan gunting tang arteridan di pilin.
- SarafSaraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja tetapi bila luka itu bersih dan ujung-ujung luka bersih dan tidak terdiseksi, selubung luka dijahit dengan bahanyang tak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan dibelakang hari.
- Tendon Biasanya, tendon yang terotong juga dibiarkan saja seperti halnya saraf, penjahitan diperbolehkan hanya kalau luka itu bersih dan diseksi tak perlu dilakukan.
- Tulang Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.
- Sendi Cidera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotika sistemik: drainase atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.
5. Penutupan luka
Luka tipe i yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang
dibalut dalam beberapa jam setelah cidera, setelah debridement, dapat dijahit.
Luka yang laim harus dibiarkan terbuka hingga bahay infeksi telah dilewati.
Luka itu dibalut sekedarnya dengan kasa steril dan diperiksa setelah 5 hari.
Kalau bersih, luka tersebut dijahit.
6. Stabilisasi fraktur
Stabilisasi fraktur diperlukan untuk mengurangi infeksi.
Untuk luka tipe i atau tipe ii yang kecil dengan fraktur yang stabil, boleh
menggunakan gips yang dibelah secara luas atau, untuk femur digunakan traksi
pada bebat. Metode yang paling aman adalah fiksasi external. Pemasangan pet
intramedula dapat digunakan untuk femur atau tibia, terbaik jangan melakukan
pelebaran luka pendahuluan yang akan meningkatkan resiko infeksi.
7. perawatan sesudahnya
Tungkai ditinggikan ditemoat tidur dan sirkulasinya
diperhatikan dengan cermat. Syok mungkin masih membutuhkan terapi. Kalau luka
dibiarkan terbuka, periksa setelah 5-7 hari.
8. Sekuele pada fraktur terbuka
- Kulit kalau terdapat kehilangan kulit atau kontraktur, pencangkokan mungkin diperlukan. Bila diperlukan operasi perbaikan atau rekonstruksi pada jaringan yang lebih dalam, pencangkokan kulit dengan ketebalan penuh sangat diperlukan.
- Tulang infeksi dapat mengakibatkan sekuester dan sinus. Sekuester yang kecil harus disingkirkan secara dini, tetapi potongan-potongan besar dapat dieksisi. Penundaan penyatuan tak dapat dielakkan setelah infeksi fraktur, tetapi penyatuan akan terjadi jika infeksi dikendalikan dan terapi dilanjutkan dalam waktu yang cukup lama.
- Sendi bila fraktur yang terinfeksi mempunyai hubungan dengan suatu sendi, prinsip terapinya sama seperti terapi infeksi tulang, yaitu ; pengobatan, drainase, dan pembebatan.
B.penatalaksanaan luka
Berdasarkan
jenisnya, luka terbagi dua, yakni luka akut dan luka kronik. Luka akut adalah
luka yang dapat diperkirakan kesembuhannya seperti luka jahitan. Sedangkan luka
kronik adalah luka yang mengalami kegagalan untuk sembuh pada waktunya,
misalnya ada infeksi di luka operasi. Pada luka akut, proses penyembuhan luka
melewati tahap inflamasi, proliferasi, dan remodelling. Sedangkan pada luka
kronik, tahap tersebut berlangsung lambat karena terjadi kegagalan mencapai
tahap tertentu. Dalam melakukan penanganan luka, ada tiga hal yang harus
diperhatikan, yakni infeksi, nekrotik, dan eksudat. Bila luka infeksi dan
terdapat nekrotik maka pemberian antibiotik dan debridement mutlak diperlukan.
Satu hal yang juga penting, yakni mencegah kekambuhan luka. Penatalaksanaan
luka terkini, seperti menganut prinsip time yakni tissue, infection,
moisture, dan edge of the wound. Penanganan tissue atau
jaringan berkaitan erat dengan debridement, yakni membersihkan luka dan
membuang jaringan yang rusak. Prinsip kedua infeksi. Infeksi harus diatasi sedini
mungkin sebab jika infeksi tidak dikontrol maka ia akan mengontrol host.
Prinsip selanjutnya adalah moisture atau lembab, di mana luka harus
dibuat sedemikian rupa agar dalam suasana lembab. Suasana lembab memungkinkan
proses penyembuhan luka berjalan lebih cepat. Prinsip terakhir adalah menutup
luka. Jika sudah ditangani sesuai tiga prinsip di atas, selanjutnya luka
ditutup dengan berbagai modalitas seperti skin graft. Jika keempat
prinsip ini diterapkan pada luka, baik yang akut ataupun kronik, akan sembuh
sesuai dengan tahapan proses kesembuhanan.
Salah
satu produk yang digunakan untuk menangani luka adalah iodosorb. Serbuk steril
yang berwarna coklat tua ini mengandung 0,9% cadexomer iodine. Seperti
diketahui, iodine merupakan antiseptik yang dapat membunuh bakteri, jamur,
virus, protozoa, trichomonas, dan spora dengan cara bereaksi dengan asam
amino dan enzim mikroba. Substansi ini dapat menghilangkan eksudat yang
berlebihan dan jaringan nekrotik kekuningan (slough) dari dasar luka.
Iodosorb memiliki mekanisme kerja yang unik, yakni iodine dalam cadexomer
dilepaskan perlahan (lepas lambat). Iodine ini memiliki efek antimikroba
dengan lama kerja panjang (hingga 72 jam). Selanjutnya, substansi ini berubah
menjadi gel yang lembut yang dapat memberikan lingkungan yang lembab pada
luka. Lingkungan lembab sangat kondusif untuk proses penyembuhan luka.
Referensi
- Apley A. Graham, Solomon Louis, Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widia Medika, Jakarta.
- Http://jurnalmedika.com/edisi-tahun-2011/edisi-no-04-vol-xxxvii-2011/309-kegiatan/588-penatalaksanaan-luka-dalam-praktik-sehari-hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar